Aset Budaya Bali Paling Mahal, Prajuru Pura Desak Pemerintah Bebaskan Pajak Sewa Menyewa Pelaba
Badung, MiningNews – Dalam hukum adat, khususnya di Bali, tanah mempunyai hubungan yang sangat erat serta bersifat religius magis. Dalam hal ini, desa adat atau pakraman sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat di Bali mempunyai wewenang dalam menguasai sampai memelihara tanah adat, salah satunya adalah tanah pelaba pura. Bahkan, untuk meningkatkan perekonomian desa adat, terutama pembangunan pura, tidak jarang tanah pelaba pura menjadi obyek sewa menyewa. Namun sayangnya, sesuai aspek perpajakan atas sewa tanah dan bangunan harus dikenakan potongan pajak, berupa PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPN masing-masing tarifnya sebesar 11 persen. Apalagi dari aturan tersebut, PPh Pasal 4 ayat (2) dipotong dan disetorkan oleh pihak penyewa tanah dan/atau bangunan dalam hal ini prajuru pura. Padahal, setoran PPh ini, dirasakan sangat memberatkan bagi krama pengempon pura, sehingga sangat berharap agar semua potongan pajak dibebaskan untuk sewa menyewa pelaba pura di Bali. “Itu ada celah hukumnya, agar pajak sewa untuk pelaba pura dibebaskan. Seperti kita di Pura Dalem Dukuh (Banjar Pipitan, Desa Adat Canggu, Kuta Utara, Badung, red) sedang berjuang untuk itu sekarang,” ungkap Pemangku Pura Dalem Kahyangan Dukuh, I Made Sudiana, SH. M.Si., saat ditemui di Canggu, pada Kamis (10/4/2024).
Wakil Bupati Badung di era periode kedua (tahun 2010-2015) Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung ini, membeberkan alasannya perjuangan bersama prajuru pura, agar semua pajak yang berkaitan dengan sewa menyewa atau kontrak lahan pelaba pura di Bali bisa dibebaskan, karena selama ini sangat menyadari semua kegiatan upakara di Bali sebagian besar adalah kegiatan agama sebagai budaya. Artinya antara kegiatan agama dan budaya tidak bisa dipisahkan dan menjadi aset Bali yang sesungguhnya dan paling mahal. Apalagi, jika berbicara pariwisata sebagai industri, maka budaya di Bali sebagai sesuatu yang paling strategis dengan agama, adat istiadat termasuk juga kesenian terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, mestinya Pemerintah memberi atensi khusus, agar aset ini jangan sampai pudar. Untuk itulah, Pemerintah mesti melindungi dan memberi dukungan aset ini, agar tetap terjaga kelestariannya. Karena, ketika berbicara support atau dukungan ini, akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Memang sebenarnya Pemerintah telah memberikan dukungan itu, di antaranya dalam bentuk catu atau tanah pelaba pura, namun dalam konteks sekarang di mana suplai air subak mulai terbatas tidak mungkin pelaba pura ini bisa dikelola dengan baik, agar bisa menghasilkan karena memang kekurangan air.
Apalagi ketika berbicara pertanian, seperti di daerah Canggu, maka pastinya pertanian padi yang berarti akan bermasalah kerena kekuangan sumber air. Karena masalah air inilah, sampai saat ini belum bisa melihat dari proses pengelolaan pelaba pura bisa dilakukan. “Kalau istilah Balinya enengen jadinya, karena tidak bisa terkelola dam menjadi lahan tidur,” beber politisi yang sempat menjadi Anggota DPRD Badung selama dua periode tersebut. Di sisi lain, dikatakan prosesi pemelihaan pura harus tetap jalan, sehingga masyarakat terus-terusan ngurun (iuran) untuk upacara, serta biaya pemeliharaan pura, karena aset lahan pelaba pura ini tidak bisa dikelola. “Prajuru ini kan tidak salah untuk berpikir lebih kreatif. Bagaimana caranya memecahkan masalah ini? Apalagi jika bicara di Canggu kan nilai tanah cukup tinggi. Kan sayang kalau kita ngak kelola, selain untuk pertanian. Apalagi sekarang menjadi lahan tidur, karena kekurangan air tidak bisa ditanam untuk pertanian,” sentil salah satu pelopor penggunaan kendaraan listrik di Bali ini. Oleh sebab itu, ada pemikiran lahan pelaba pura untuk dikontrakan dan dikerjasamakan supaya ada nilai ekonomi untuk mensupport kebutuhan dana kegiatan agama dan adat istiadat maupun pemelihaan pura, seperti upacara ritual yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi setiap tahunnya.
“Makanya sebenarnya kita ingin kontrakan, kemudian dananya kita kelola dalam bentuk kegiatan yang bisa menghasilkan yang bersifat rutin, sehingga nantinya tidak lagi memberatkan krama untuk ngurun,” jelasnya. Dari sisi finansial, hal ini sudah dibuktikan dari langkah prajuru pura sebelumnya dengan mendirikan Koperasi Dalem Dukuh di Banjar Pipitan, Desa Adat Canggu yang juga sebagai catu. Bahkan koperasi yang didirikan itu, sudah mampu menghasilkan SHU koperasi yang seluruhnya digunakan untuk kepentingan pura. Selain itu, saat dampak pandemi Covid-19 lalu, juga mampu membantu krama dengan memberikan sumbangan beras setiap bulan. “Setidak-tidaknya bisa membantu, karena krama banyak yang putus pekerjaan atau PHK, sehingga tidak lagi ada penghasilan bulanan. Dan sekarang dari prajuru juga membuat program, sehingga setiap krama sebagai pengempon pura yang meninggal itu diaben gratis. Tidak perlu mengeluarkan biaya dan ditanggung sekitar Rp20 juta. Karena kita sudah membuat Yayasan Dalem Catur Dukuh Sakti, sehingga yayasan inilah yang mengerjakan melalui dana yang diambil dari pura. Sehingga tidak lagi memberat keluarga krama yang meninggal dan setiap ada yang meninggal bisa langsung diaben,” tandasnya.
Program strategis lainnya ke depan, juga sedang dirancang oleh prajuru pura yang bersifat sosial ekonomi, seperti membantu krama yang kemampuan ekonomi terbatas untuk membayar biaya sekolah anaknya. Program tersebut akan dilaksanakan secara bertahap, karena sangat membutuhkan dana anggaran yang cukup besar, agar betul-betul tidak memberatkan krama yang beragama Hindu. Namun justru, bagaimana agar semua krama merasa tidak terbenani oleh biaya kegiatan ritual di pura? Oleh karena itu, pihaknya mendesak Pemerintah agar memberikan atensi khusus untuk membebaskan semua pajak sewa menyewa pelaba pura di Bali yang umumnya rata-rata akan mengeluarkan biaya upakara cukup tinggi. “Jadi kita berharap pura itu punya yayasan yang bisa mengelola padruwen pura lebih produktif, sehingga bisa mensupport pura, sekaligus dapat membantu kramanya sendiri. Ke depan agama Hindu akan semakin menarik sebagai aset di Bali yang bisa mensupport sektor pariwisata,” tegas Komisaris Utama (Owner) Raditya Holding Company itu.
Dari obsesi itu, pihaknya bersama prajuru pura saat ini terus berusaha untuk mengambil langkah-langkah strategis, seperti mengajukan surat ke Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Provinsi Bali, dan berkoordinasi dengan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali. “Kita juga berharap, karena ini menjadi tugas yang cukup berat merasa sebagai perjuangan yang tidak mudah. Makanya juga berkonsultasi dengan akademisi yang juga sangat tertarik dengan apa yang kita perjuangkan. Selain itu, juga sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk bisa dikaji secara akademis. Dan kajian hukumnya juga akademisi yang melakukan. Saya juga tidak mungkin sebagai prajuru pura juga terus mengambil kerjaan itu, sehingga harus mengambil konsultan juga sebagai penasehat hukum (pengacara) untuk bisa mewakili kita dalam proses perjuangan ini,” paparnya, seraya mengakui sudah sempat menghadap ke Dinas PMA Provinsi Bali dan telah memberikan penjelasan secara detail, sehingga ditanggapi dengan baik untuk selanjutkan berusaha untuk berkonsultasi dan memperjuangkan, sekaligus mengkoordinasikan secara intens dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.
“Apalagi pada kesempatan itu, juga dihadiri oleh perwakilan dari MDA Bali. Kami sudah jelaskan, dan sudah paham dengan aturan pajak, namun kami bukan ingin berkonsultasi dan menjelaskan tentang pajak. Tapi kita ingin berjuang, bagaimana pelaba pura jika disewakan atau dikontrakan agar terbebas dari PPn. Itu sebenanya yang kita ingin perjuangkan, sehingga kita mengajak MDA ikut berjuang. Bukan ingin penjelasan tentang pajak. Dan secara aturan pajak kita sudah tahu, tapi kan tidak etis. Karena ranahnya beda, sehingga biar akademisi yang bekerja sama dengan penasehat hukum saja yang nanti menjelaskan aturan itu, untuk memperjuangkan keinginan dari prajuru atau krama,” terangnya. Perjuangan untuk sewa menyewa pelaba pura agar bebas pajak PPn jika nantinya bisa berhasil, maka akan menjadi Yurisprudensi sebagai keputusan hukum dari terdahulu, dan dijadikan sebagai pedoman yang sama, sehingga bisa berlaku untuk semua pelaba pura yang ada di seluruh Bali. “Kita berjuang bukan untuk Pura Dalem (Desa Adat Canggu, red) saja. Tapi untuk semua pelaba pura yang dikontrakan kita minta kebebasan pajak,” bebernya, seraya mengaku akan segera bersurat ke Kementerian Keuangan RI. ama/ksm/kel